Maulana Muhammad Ilyas rah.a
Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi
lahir pada tahun 1303 H. (1886) di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar
Nagar, Utar Prades, India. Ayahnya bernama Syaikh Ismail dan Ibunya
bernama Shafiyah Al-Hafidzah. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal
sebagai gudang ilmu agama dan memiliki sifat wara’. Saudaranya antara
lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad Yahya. Sementara
Maulana Muhammad Ilyas adalah anak ketiga dari tiga bersaudara ini.
Maulana Muhammad Ilyas pertama kali belajar agama pada kakeknya
Syaikh Muhammad Yahya, beliau adalah seorang guru agama pada madrasah di
kota kelahirannya. Kakeknya ini adalah seorang penganut mazhab Hanafi
dan teman dari seorang ulama dan penulis Islam terkenal, Syaikh Abul
Hasan Al-Hasani An-Nadwi yang merupakan seorang direktur pada lembaga
Dar Al-‘Ulum di Lucknow, India[2]. Ayah beliau Syaikh Muhammad Ismail
adalah seorang ruhaniawan besar yang suka menjalani hidup dengan
ber’uzhlah, berkhalwat dan beribadah, membaca Al-Qur’an dan melayani
para musafir yang datang dan pergi serta mengajarkan Al-Qur’an dan
ilmu-ilmu agama.
Beliau selalu mengamalkan do’a ma’tsur dari hadits untuk waktu dan
keadaan yang berlainan. Perangainya menyukai kedamaian dan keselamatan
serta bergaul dengan manusia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan,
tidak seorangpun meragukan dirinya. Bahkan beliau menjadi tumpuan
kepercayaan para ulama sehingga mampu membimbing berbagai tingkat kaum
muslimin yang terhalang oleh perselisihan di antara mereka. Adapun
ibunda beliau Shafiyah Al-Hafidzah adalah seoarang Hafidzah Al-Qur’an.
Istri kedua dari Syaikh Muhammad Ismail ini selalu menghatamkan
Al-Qur’an, bahkan sambil bekerjapun mulutnya senantiasa bergerak membaca
ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang ia hafal.
Maulana Muhammad Ilyas sendiri mulai mengenal pendidikan pada
sekolah Ibtidaiyah (dasar). Sejak saat itulah beliau mulai menghafal
Al-Qur’an, hal ini di sebabkan pula oleh kebiasaan yang ada dalam
keluarga Syaikh Muhammad Ismail yang kebanyakan dari mereka adalah
hafidzh Al-Qur’an. Sehingga diriwayatkan bahwa dalam shalat berjama’ah
separuh shaff bagian depan semuanya adalah hafidzh terkecuali muazzin
saja. Sejak kecil telah tampak ruh dan semangat agama dalam dirinya,
beliau memilki kerisauan terhadap umat, agama dan dakwah. Sehingga
‘Allamah Asy-Syaikh Mahmud Hasan yang dikenal sebagai Syaikhul Hind
(guru besar ilmu hadits pada madrasah Darul ‘Ulum Deoband) mengatakan,
“sesungguhnya apabila aku melihat Maulana Ilyas aku teringat akan kisah
perjuangan para sahabat”.
Pada suatu ketika saudara tengahnya, yakni Maulana Muhammad Yahya
pergi belajar kepada seorang ‘alim besar dan pembaharu yang ternama
yakni Syaikh Rasyid Ahmad Al-Gangohi, di desa Gangoh, kawasan Saranpur,
Utar Pradesh, India. Maulana Muhammad Yahya belajar membersihkan diri
dan menyerap ilmu dengan bimbingan Syaikh Rasyid. Hal ini pula yang
membuat Maulana Muhammad Ilyas tertarik untuk belajar pada Syaikh Rasyid
sebagaimana kakanya. Akhirnya Maulana Ilyas memutuskan untuk belajar
agama menyertai kakaknya di Gangoh. Akan tetapi selama tinggal dan
belajar di sana Maulana Ilyas selalu menderita sakit. Sakit ini
ditanggungnya selama bertahun-tahun lamanya, tabib Ustadz Mahmud Ahmad
putra dari Syaikh Gangohi sendiri telah memberikan pengobatan dan
perawatan pada beliau.
Sakit yang dideritanya menyebabkan kegiatan belajarnyapun menurun,
akan tetapi beliau tidak berputus asa. Banyak yang menyarankan agar
beliau berhenti belajar untuk sementara waktu, beliau menjawab, ”apa
gunanya aku hidup jika dalam kebodohan”. Dengan ijin Allah SWT, Maulana
pun menyelesaiakan pelajaran Hadits Syarif,
Jami’at Tirmidzi dan Shahih Bukhari, dan dalam jangka waktu empat bulan
beliau sudah menyelesaikan Kutubus Sittah[3]. Tubuhnya yang kurus dan
sering terserang sakit semakin membuat beliau bersemangat dalam menuntut
ilmu, begitu pula kerisauannya yang bertambah besar terhadap keadaan
umat yang jauh dari Syari’at Islam.
Ketika Syaikh Gangohi wafat pada tahun 1323 H, beliau baru berumur
dua puluh lima tahun dan merasa sangat kehilangan guru yang paling
dihormati. Hal ini membuatnya semakin taat beribadah pada Allah. Beliau
menjadi pendiam dan hanya mengerjakan ibadah, dzikir, dan banyak
mengerjakan amal-amal infiradi[4].
Maulana Muhammad Zakariya menuliskan:
Pada waktu aku mengaji sebuah kitab kepada beliau, aku datang
padanya dengan kitab pelajaranku dan aku menunjukkan tempat pelajaran
dengan jari kepadanya. Tetapi apabila aku salah dalam membaca, maka
beliau akan memberi isyarat kepadaku dengan jarinya agar menutup kitab
dan menghentikan pelajaran. Hal itu beliau maksudkan agar aku
mempelajari kembali kitab tersebut, kemudian datang lagi pada hari
berikutnya[5].
Beliau akhirnya berkenalan dengan Syaikh Khalid Ahmad As-Sharanpuri
penulis kitab Bajhul Majhud Fi Hilli Alfazhi Abi Dawud dan akhirnya
beliau berguru kepadanya. Semakin bertambah ilmu yang dimiliki membuat
beliau semakin tawaddu’. Ketawaddu’an beliau di usia mudanya menyebabkan
beliau dihormati di kalangan para Ulama dan Masyaikh. Syaikh Yahya,
kakak kandung beliau sendiri tidak pernah memperlakukan beliau sebagai
anak kecil, bahkan Syaikh Yahya sangat menghormati beliau.
Pada suatu ketika di Kandhla ada sebuah pertemuan yang dihadiri
oleh ulama-ulama besar, di antaranya terdapat nama Syaikh Abdurrahman
Ar-Raipuri, Syaikh Khalil Ahmad As-Sharanpuri, dan Syaikh Asyraf Ali
At-Tanwi. Waktu itu tiba waktu sholat Ashar, mereka meminta Maulana
Ilyas untuk mengimami sholat tersebut. Ustadz Badrul Hasan salah seorang
di antara keluarga besar tersebut berkata, “alangkah panjang dan
beratnya kereta api ini, namun alangkah ringan lokomotifnya”, kemudian
salah seorang diantara hadirin menjawab,” tetapi lokomotif yang kuat itu
justru karena ringannya”.
Akibat kematian kakaknya, Maulana Muhammad Yahya, pada 9 Agustus
1925, beliau mengalami goncangan batin yang cukup berat. Dua tahun
setelah itu, menyusul kakaknya yang tertua, Maulana Muhammad. Beliau
meninggal di Masjid Nawab Wali, Qassab Pura dan dimakamkan di
Nizamuddin. Kematian Maulana Muhammad ini mendapat perhatian dari
masyarakat sekitarnya. Beribu orang menziarahi jenazahnya. Setelah
dimakamkan orang ramai meminta kepada Maulana Ilyas untuk menggantikan
kakaknya di Nizamuddin padahal pada waktu itu beliau sedang menjadi
salah seorang pengajar di Madrasah Mazhahirul ‘Ulum. Masyarakat bahkan
menjanjikan dana bulanan kepada madrasah dengan syarat agar dapat
diamalkan seumur hidupnya. Pada akhirnya, setelah mendapat ijin dari
Maulana Khalil Ahmad dengan pertimbangan jika tinggalnya di Nizamuddin
membawa manfaat maka Maulana Ilyas akan diberi kesempatan untuk berhenti
mengajar. Beliau pun akhirnya pergi ke Nizamuddin, ke madarasah warisan
ayahnya yang kosong akibat lama tidak dihuni. Dengan semangat mengajar
yang tinggi beliaupun akhirnya membuka kembali madrasah tersebut.
Karena semangat yang tinggi untuk memajukan agama, beliaupun
mendirikan Maktab di Mewat, tetapi kondisi geografis yang agraris
menyebabkan masyarakatnya lebih menyukai anak-anak mereka pergi ke kebun
atau ke sawah daripada ke Madrasah atau Maktab untuk belajar agama,
membaca atau menulis. Dengan demikian Maulana Ilyas dengan terpaksa
meminta orang Mewat untuk menyiapkan anak-anak mereka untuk belajar
dengan pembiayaan yang ditanggung oleh Maulana sendiri. Besarnya
pengorbanan Maulana hanya untuk memajukan pendidikan agama bagi
masyarakat Mewat tidak mendapatkan perhatian. Bahkan mereka enggan
menuntut ilmu, mereka senang hidup dalam kondisi yang sudah mereka
jalani selama bertahun-tahun turun temurun.
Beliau melihat bahwa kebodohan, kegelapan dan sekularisme yang
melanda negerinya sangat berpengaruh terhadap madrasah-madrasah. Para
murid tidak mampu menjunjung nilai-nilai agama sebagaimana mestinya,
sehingga gelombang kebodohan semakin melanda bagaikan gelombang lautan
yang melaju deras sampai ratusan mil membawa mereka hanyut. Tetap saja
masyarakat masih belum memiliki semangat agama. Kebanyakan mereka tidak
begitu berminat untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar ilmu di
Madrasah. Hal ini disebabkan mereka tidak tahu pentingnya ilmu agama,
mereka pun tidak menaruh hormat pada lulusan Madrasah yang telah
memberikan penerangan dan dakwah. Orang Mewat pun tidak mau mendengarkan
apalagi mengikutinya. Kesimpulannya bahwa Madrasah-madrasah yang ada
itu tidak mampu mengubah warna dan gaya hidup masyarakat[6].
Melihat keadaan Mewat yang sangat jahil itu semakin menambah
kerisauan beliau akan keadaan umat Islam terutama masyarakat Mewat.
Kunjungan-kunjungan diadakan bahkan madrasah-madrasah banyak didirikan,
tetapi hal itu belum dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi
masyarakat Mewat. Dengan ijin Allah timbullah keinginannya untuk
mengirimkan jama’ah dakwah ke Mewat. Pada tahun 1351 H/1931 M, beliau
menunaikan haji yang ketiga ke tanah suci Makkah. Kesempatan tersebut
dipergunakannya untuk menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab guna
mengenalkan usaha dakwah dan dengan harapan agar usaha ini dapat terus
dijalankan di tanah Arab. Keinginannya yang besar menyebabkan beliau
berkesempatan menemui Sultan Ibnu Sa’ud yang menjadi raja tanah Arab
untuk mengenalkan usaha mulia yang dibawanya. Selama di tanah Makkah
Jama’ah bergerak setiap hari sejak pagi sampai petang, usaha dakwah
terus dilakukan untuk mengajak orang taat kepada perintah Allah dan
menegakkan dakwah.
Setelah pulang dari haji tersebut, Maulana mengadakan dua kunjungan
ke Mewat, masing-masing disertai Jama’ah dengan jumlah yang cukup
besar, paling sedikit seratus orang. Bahkan di beberapa tempat jumlah
itu justru semakin membengkak. Kunjungan pertama dilakukan selama satu
bulan dan kunjungan ke dua dilakukan hanya beberapa hari saja. Dalam
kunjungan tersebut beliau selalu membentuk jama’ah-jama’ah yang dikirim
ke kampung-kampung untuk berjaulah (berkeliling dari rumah ke rumah)
guna menyampaikan pentingnya agama[7]. Beliau sepenuhnya yakin bahwa
kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman
itulah yang menjadi sumber kerusakan. Adapun satu-satu jalan adalah
membujuk orang-orang Mewat agar keluar dari kampung halamannya untuk
memperbaiki diri dan belajar agama, serta melatih kebiasaan-kebiasaan
yang baik sehingga tumbuh kesadarannya untuk mencintai agama lebih
daripada dunia dan mementingkan amal dari mal (harta).
Dari Mewat inilah secara berangsur-angsur usaha tabligh meluas ke
Delhi, United Province, Punjab, Khurja, Aligarh, Agra, Bulandshar,
Meerut, Panipat, Sonepat, Karnal, Rohtak dan daerah lainnya. Begitu juga
di bandar-bandar pelabuhan banyak jama’ah yang tinggal dan terus
bergerak menuju tempat-tempat yang ditargetkan sepeti halnya daerah Asia
Barat[8]. Terbentuknya jama’ah ini adalah dengan ijin Allah melalui
kerisauan seorang Maulana Muhammad Ilyas, menyebarlah jama’ah-jama’ah
yang membawa misi ganda yaitu ishlah diri (perbaikan diri sendiri) dan
mendakwahkan kebesaran Allah SWT kepada seluruh umat manusia.
Perkembangan jama’ah ini semakin hari semakin tampak. Banyak jama’ah
yang dikirim dari tempat-tempat yang dikunjungi jama’ah pun ada yang
kemudian membentuk rombongan jama’ah baru sehingga silaturrahim antara
kaum muslimin dengan muslim yang lain dapat terwujud. Gerakan jama’ah
tidak hanya tersebar di India tetapi sedikit demi sedikit telah menyebar
ke barbagai negara. Hanya kekuasaan Allah yang dapat memakmurkan dan
membesarkan usaha ini.
Kerisauan akan keadaan umat semakin bertambah, jama’ah-jama’ah
banyak dibentuk dan dikirim ke pelosok jazirah. Sehingga dengan ijin
Allah usaha ini pun semakin meluas. Maulana Muhammad Ilyas tanpa henti
terus memberi dorongan dan arahan ilmu dan pemikirannya untuk
menjalankan usaha dakwah ini agar sampai ke seluruh alam. Dalam keadaan
umur yang tua renta, Maulana terus bersemangat hingga tubuhnya yang
kurus tidak mampu lagi untuk digerakkan ketika beliau menderita sakit.
Pada hari terakhir dalam sejarah hidupnya Maulana mengirim utusan kepada
Syaikhul Hadits Maulana Zakariya, Maulana Abdul Qodir Raipuri, dan
Maulana Zafar Ahmad, bahwa beliau akan mengamanahkan kepercayaan sebagai
amir jama’ah kepada sahabat-sahabatnya seperti Hafidz Maqbul Hasan,
Qozi Dawud, Mulvi Ihtisamul Hasan, Mulvi Muhammad Yusuf, Mulvi Inamul
Hasan, Mulvi Sayyid Raza Hasan. Pada saat itu terpilihlah Mulvi Muhammad
Yusuf sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas dalam memimpin
usahadakwah dan tabligh[9].
Pada sekitar bulan Juli 1944 beliau jatuh sakit yang cukup parah,
beliau hanya berbaring di tempat tidur dengan ditemani para pembantu dan
muridnya. Kondisi tubuhnya yang telah lemah merupakan bukti nyata bahwa
beliau bersungguh-sungguh menghabiskan waktu berdakwah Khuruj Fi
Sabilillah mengembara dari satu tempat ke tempat lain bersama dengan
Jama’ah untuk mendakwahkan kebesaran Allah dan kalimat Laa Ilaaha
Illallah Muhammad Rasulullah.
Pada tanggal 13 Juli 1944, Maulana telah siap untuk menempuh
perjalanannya yang terakhir. Beliau bertanya kepada salah seorang yang
hadir, “apakah besok hari Kamis?”, yang di sekelilingnya
menjawab,”benar”, kemudian beliau berkata lagi, “periksalah pakaianku,
apakah ada najisnya atau tidak”, yang disekelilingnya berkata bahwa
pakaian yang dikenakannya masih dalam keadaan suci. Kemudian beliau
turun dari dipan, berwudlu dan mengerjakan sholat Isya’ dengan
berjama’ah. Beliau berpesan kepada orang-orang agar memperbanyak dzikir
dan do’a pada malam itu. Beliau berkata,”yang ada di sekelilingku ini
pada hari ini hendaklah menjadi orang-orang yang dapat membedakan antara
perbuatan setan dan perbuatan malaikat Allah”.
Pada pukul 24.00 beliau pingsan dan sangat gelisah, dokter segera
dipanggil dan obat pun segera diberikan, kata-kata Allahu Akbar terus
keluar dari mulutnya ketika malam telah menjelang pagi, beliau mencari
putranya Maulana Muhammad Yusuf dan Maulana Ikromul Hasan ketika
dipertemukan beliau berkata,” kemarilah kalian, aku ingin memeluk, tidak
ada lagi waktu setelah ini, sesungguhnya aku akan pergi”. Akhirnya
Maulana menghembuskan nafas terakhirnya, beliau pulang ke rahmatullah
sebelum adzan Shubuh. Seorang pengembara yang amat lelah yang mungkin
tidak pernah tidur dengan tenang, kini sampai ke tempat tujuannya. “Hai
jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan di
ridhai-Nya. Maka masuklah kamu kedalam golongan hamba-hamba-Ku, dan
masuklah ke dalam surga-Ku” (Al-Fajr, 127-128)[10].
Beliau tidak banyak meninggalkan karya-karya tulisan tentang
kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikiran beliau dituang dalam
lembar-lembar kertas surat yang di himpun oleh Maulana Manzoor Nu’mani
dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan
seluruh umat Islam yang mengambil usaha dakwah ini. Karya beliau yang
paling nyata adalah bahwa beliau telah meninggalkan kerisuaan dan fikir
atas umat Islam hari ini serta metode kerja dakwahnya yang atas ijin
Allah SWT telah menyebar ke seluruh pelosok dunia. Orang-orang yang
mengetahui keadaan umat, Insya Allah akan mengambil jalan dakwah ini
sebagai penawar dan obat hatinya, dan akan menjadi sebab hadirnya
hidayah bagi dirinya dan orang lain.
Prinsip dan Usaha Membangun Tradisi Dakwah
Dakwah merupakan masalah yang paling penting dalam mengembalikan
kejayaan umat Islam. Kesan dakwah pada saat ini tidaklah sepenting yang
digariskan, dan seakan sudah tidak ada lagi dalam pikiran orang-orang
Islam yang hidup pada zaman ini. Orang-orang Islam mungkin lupa bahwa
risalah kenabian dan kerasulan telah ditutup oleh Allah SWT. Sementara
agama Islam yang menjadi jalan keselamatan harus sampai kepada generasi
terakhir umat manusia yang tidak seorangpun mengetahui kapan
berakhirnya. Sering diungkapkan dalam riwayat-riwayat tentang penyakit
umat-umat nabi terdahulu yang pada saat ini dapat kita lihat sendiri.
Maka menjadi tugas umat Islam sebagai pewaris tugas kenabian untuk
mendakwahkan agama Allah SWT hingga generasi terakhir dari peradaban
manusia.
Dalam pandangan Maulana Muhammad Ilyas dakwah merupakan kewajiban
umat Nabi Muhammad saw. Pada prinsipnya setiap orang yang mengaku
mengikuti ajaran Nabi Muhammad tentulah memiliki kewajiban mendakwahkan
ajarannya, yaitu agar selalu taat kepada Allah dengan cara yang telah
dicontohkan Rasulullah. Menjadikan dakwah sebagai maksud hidup untuk
mencapai puncak pengorbanan merupakan tujuan yang harus dicapai setiap
individu pendakwah yang mengerti kondisi umat Islam saat ini.
Sebagaimana halnya para sahabat nabi yang dalam riwayat banyak
dikisahkan tentang pengorbanan mereka terhadap agama Allah SWT, sehingga
Allah memberikan kemulian dan kesempurnaan amal agama dan kehidupan
yang tidak hanya berdimensi ibadah semata melainkan mencakup semua
bidang kehidupan berupa politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Pada awal perkembangannya yang sedemikian terbatas, Islam mampu
menguasai belahan dunia pada saat itu dengan menundukkan Romawi dan
Persi serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan ke seluruh belahan dunia.
Hal ini merupakan bukti tentang besar dan megahnya Islam dengan generasi
yang berpegang teguh pada ajarannya. Hal inilah yang dikehendaki
Maulana agar dapat terwujud kembali di kalangan umat Islam. Maulana
menghabiskan masa hidupnya untuk berdakwah, mengajarkan prinsip dakwah
yang hakiki yakni bahwa setiap diri yang mengaku sebagai umat Islam
mempunyai kewajiban dakwah, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar.
Dalam salah satu suratnya yang ditujukan pada Syaikh Muhammad Zakariya, beliau menulis:
Aku ingin agar pikiran, hari, kekuatan dan waktuku hanya aku
gunakan demi cita-citaku ini saja. Bagaimana aku dapat bekerja selain
dari kerja dakwah dan tabligh, sedangkan aku melihat ruh Nabi saw
bersedih akibat perilaku buruk umatnya, lemah agama dan aqidah, merosot
dan hina serta tidak adanya kejayaan bahkan telah lama digilas
kekufuran[11].
Kerisauan yang mendalam akan keadaan umat inilah yang menyebabkan
beliau berkeinginan kuat untuk terus berdakwah mengajak orang taat
kepada Allah dan menyampaikan kebesaran Allah dengan manifestasi
menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Melalui segala macam
usaha yang dilakukan oleh beliau dengan pikiran dan kerisauan akhirnya
terbentuklah jama’ah-jama’ah yang berkeinginan mendakwahkan kembali
ajaran Nabi Muhammad saw kepada umatnya.
Membebankan kewajiban bertabligh (amar ma’ruf nahi munkar)
semata-mata pada kalangan ulama adalah sebagai tanda adanya kebodohan
pada diri kita. Tugas ulama adalah mengajarkan ilmu dan menunjukkan
jalan yang benar akan pemahaman terhadap agama. Sedangkan memerintahkan
berbuat kebajikan di antara khalayak dan mengusahakan supaya mereka
menuju jalan yang benar adalah tanggung jawab semua orang Islam[12].
Sementara Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam tulisannya menegaskan:
Laju perjalanan umat Islam saat ini jauh tertinggal di belakang,
setelah sebelumnya berada di barisan paling depan. Banyak sebab yang
menjadikan kaum muslimin dalam kondisi seperti ini, di antara sebab
terpenting adalah ditinggalkannya kewajiban dakwah, amar ma’ruf nahi
munkar dan jihad fi sabilillah. Semua ini berangkat dari kesalahan
persepsi umat dalam memandang kewajiban ini. Masih banyak yang memahami
bahwa dakwah adalah kewajiban ulama saja, terbatas dalam bentuk ceramah,
khutbah dan mau’idzhoh saja. Sementara itu, sebagian dari mereka ada
yang memahami dakwah ini merupakan kewajiban yang berlaku atas setiap
individu muslim, namun mereka melakukannya tanpa disertai pemahan yang
baik terhadap manhaj dakwah nabawiyah dan rambu-rambu Al-Qur’an[13].
Jauh sebelum itu Maulana Muhammad Ilyas telah memikirkan keadaan
ini, sehingga keinginannya yang telah bersatu dengan kerisauannya akan
kondisi umat Islam yang dilihatnya, membuatnya mencurahkan hidupnya
untuk kerja dakwah. Bahkan Maulana Muhammad Ilyas mulai membangun
tradisi dakwah yang ia mulai dengan membentuk jama’ah-jama’ah dakwah
yang dikirim ke tempat-tempat tertentu, bahkan dipimpin langsung oleh
beliau. Dengan tenaga dan kerisauan yang ada beliau berusaha mengenalkan
kewajiban dakwah pada umat Islam dan membangun tradisi tersebut agar
semua dapat melaksanakan jalan dakwah ini.
Membangun tradisi dakwah diantara kondisi umat yang jauh dari
agama, seperti di Mewat tidaklah semudah yang dibayangkan. Dalam keadaan
yang penuh dengan kesesatan dan kejahilan masyarakat, Maulana Muhammad
Ilyas terpanggil untuk mengajak mereka kembali kepada Allah dan
Rasul-Nya. Terlebih lagi masyarakat yang masih kuat memegang syariat
agama. Beliau sangat menyadari bahwa Rasulullah bukanlah orang yang
mementingkan diri sendiri, beliau selalu memikirkan umatnya, merisaukan
keadaan umatnya di kemudian hari. Sehingga dalam riwayat di beritakan
bahwa ketika ajal beliau datang, dengan terbata-bata masih menyebut
umatnya. Pikiran itulah yang selalu muncul dalam benak Maulana, bahwa
dakwah hari ini adalah bagaimana mengajak umat kembali kepada jalan
Allah dan Rasulnya.
Berdasarkan
pengalaman dan pemikiran yang panjang, Maulana melihat bahwa para
petani Mewat yang miskin tidak mungkin dapat meluangkan waktunya untuk
belajar agama, sedangkan mereka masih berada di tengah-tengah lingkungan
dengan segala kesibukannya. Bahkan dalam jangka waktu yang pendek yang
dapat mereka berikan itu, tidak dapat diharapkan agar mereka dapat
memperoleh kesan yang dalam dari ajaran-ajaran agama yang telah mereka
peroleh, serta memiliki semangat agama sebagaimana yang diharapkan yang
dapat mengubah cara hidup mereka. Sesungguhnya tidak mungkin meminta
mereka semuanya untuk ke madrasah. Namun juga tidak tepat berangan-angan
bahwa hanya dengan sekedar nasihat dan ceramah akan mengubah kehidupan
mereka dari cara-cara jahiliyah kepada cara-cara Islam, baik dalam
perangai, tradisi, maupun pola pikir[14].
Peran Maulana Muhammad Ilyas dalam menggerakkan masyarakat Mewat
yang jahiliyah itu menyebabkan tumbuhnya suasana agama yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Suasana agama inilah yang diperlukan guna
menstimulasi berkembangnya masyarakat yang Islami yang mengikuti
kehidupan rasul dan para sahabat. Jama’ah-jama’ah dari masyarakat pun
dibentuk untuk dikirim ke beberapa tempat agar dapat memperbaiki diri
dalam suasana agama, dengan perbekalan seadanya dan semangat untuk
menyebarkan dan mensuasanakan agama.
Datangnya Ramadhan dan cahayanya telah menyinari hati manusia,
Maulana Ilyas pun meminta para sahabatnya agar menyiapkan jama’ah untuk
dikirim ke Kandhla. Padahal mereka tahu bahwa Kandhla merupakan pusat
ilmu dan banyak terdapat rohaniawan. Tentu saja mereka berkeberatan
untuk menyampaikan seruan agama tersebut. Apalagi jama’ah itu adalah
orang-orang yang bodoh, sungguh ini merupakan suatu yang aneh. Namun
akhirnya terbentuklah jama’ah yang terdiri dari sepuluh orang Mewat yang
dipimpin oleh Hafidzh Maqbul Hasan. Jama’ah ini bertolak dari Delhi
menuju ke Kandhla setelah hari raya. Jama’ah mendapatkan sambutan yang
menyenangkan[15].
Jama’ah pertama yang dikirim menyebabkan bertambahnya semangat
beliau dalam membangun tradisi dakwah di kalangan masyarakat.
Daerah-daerah lain pun mulai dipikirkannya. Gerak jama’ah sangat penting
artinya bagi upaya mengubah pola hidup masyarakat. Bagaimanapun
keadaannya, beliau tetap berharap dapat mengirimkan jama’ah-jama’ah
serupa ke berbagai tempat lainnya. Jama’ah kedua dikirim ke Raipur,
kemudian mengadakan ijtima’ (berkumpul bersama) di Chatora hingga
terbentuk jama’ah lagi hingga dikirim ke Sonepar, Panipat, dan daerah
sekitarnya. Begitulah perkembangan yang terjadi di daerah Mewat dan
sekitarnya.
Beliau sepenuhnya meyakini bahwa kebodohan, kelalaian serta
hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber
kerusakan.
Adapun satu-satunya jalan keluar adalah membujuk orang-orang Mewat
supaya keluar (dari kampung halamannya) guna memperbaiki diri, belajar
agama, dan melatih kebiasaan yang baik hingga tumbuh kesadarannya untuk
lebih mencintai agama daripada dunia, dan mementingkan amal daripada mal
(harta)[16]. Maulana bercita-cita mewujudkan satu generasi yang
benar-benar mau berkorban untuk agama, seperti berkorbannya para sahabat
dahulu. Jika sehari-hari mereka berkorban waktu, harta, dan diri mereka
untuk keduniaan, maka mereka pun harus berusaha untuk berkorban dengan
diri, harta dan waktu mereka untuk agama. Menjadi hal yang biasa bahwa
segala sesuatu yang diperoleh melalui pengorbanan akan sangat dicintai.
Lambat laun suasana di Mewat semakin berubah. Bahkan perubahan
tersebut makin tampak pada cara hidup dan tradisi mereka. Mewat menjadi
tanah gembur dan subur yang apabila tanaman dakwah Islamiyah dan
pengajaran hukum-hukum agama ditanamkan akan tumbuh, berkembang dan
berbuah di tempat tersebut[17]. Perkembangan yang terjadi di Mewat
adalah perkembangan yang mengesankan, Mewat yang pada mulanya dilingkupi
jahiliyah kini telah berubah menjadi pusat dakwah dan siar agama. Usaha
Maulana Muhammad Ilyas yang pertama adalah menanamkan iman dan
keyakinan yang benar terhadap Allah SWT dengan cara yang telah
dicontohkan Rasulullah.
Kemudian beliau menyampaikan keutamaan-keutamaan beramal dan
kerugian meninggalkannya serta mengajak umat Islam untuk berkorban
menyisihkan diri, harta dan waktunya di jalan Allah.
Sampai akhir hayatnya beliau tetap mencurahkan perhatiannya pada
usaha dakwah ini. Bahkan setelah berkembang di India, usaha dakwah ini
berkembang ke seluruh dunia. Hingga saat ini negara-negara di beberapa
berlahan benua telah memiliki amal jama’ah dakwah.
Mereka terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain untuk
mengajak manusia kembali kepada tugas utama sebagai hamba Allah yang
sudah seharusnya mengabdi dengan segenap jiwa dan raga serta sebagai
umat Nabi yang terakhir Muhammad saw yang mempunyai tugas dakwah beramar
ma’ruf nahi munkar.
ketabahan dan kesungguhan serta ikhlas mengantar ridho Alloh SWT
BalasHapus