in Cerita Hikmah, Pengalaman Khuruj / Da'wah, Studi Kritis Tentang Jamaah Tabligh, Testimoni Tentang Jamaah Tabligh
MENYINGKAP KESALAH FAHAMAN TERHADAP JAMAAH TABLIGH
Segala puji bagi Allah Tuhan Pemelihara Seluruh Alam, Salawat dan
Salam semoga tetap dilimpahkan kepada sebaik-baik Nabi Rasul Muhammad
SAW dan seluruh pengikutnya sampai hari pembalasan.
Selanjutnya, kalau anda belum pernah melihat seseorang, atau kelompok/jama’ah dari dekat, dengan bersahabat atau dengan partisipasi, anda tidak dapat menghukuminya dengan pandangan yang benar. Sebab sudab jelas bahwa apa saja yang anda dengar dari orang-orang itu belum tentu benar dan tepat. Maka dari itu Allah memerintahkan kita:
“Apabila seseorang fasiq datang membawa berita kepadamu, maka selidikilah …“
Rasulullah bersabda:
“Cukuplab seseorang dikatakan pembohong, bila ia memberitakan segala yang ia dengar”.
Pada tahun 1395 H saya mendapat kesempatan untuk khuruj fisabilillah selarna 40 hari keSudan. Saya menjadi tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang hatinya telah terbakar oleh kesedihan dan kerisauan yang dalam karena melihat keadaan umat Islam di hari ini Dalam kerja besar ini mereka tidak mempunyai kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan pribadi. Dan karena keikhlasan dan kesungguhan mereka dalam da’wah. Allah SWT telah memberikan hidayah kepada banyak hamba-hambanya,
Dalam penjalanan khuruj tersebut di stasiun kereta api (Syindi) saya telab melihat seorang pemudaTunisbersarna dengan seorang gadis Amerika. Waktu itu kami dalam perjalanan menuju kePort Sudan. PemudaTunistersebut ikut naik di kendaraan kami, maka seorang diantara kami berbicara kepadanya tentang iman, sehiugga Allah SWT telab memberikan karunia hidayah kepadanya. Setelab kepulangan kami ke Saudi Arabia, pemuda tersebut telah datang untuk melaksanakan Umroh dan ia telah hafal beberapa juz AI-Qur an. Adalab sangat kebetulan sekali, pemuda itu termasuk keturunan As-Sadaat dan ia mempunyal keluarga di Madinah AI-Munawwarah.
Setelab tamat dari fakultas Da’wah dan Ushuluddin di Universitas Islam Madinah Al-Munawwrah saya menjadi tenaga da’i dari Lembaga Riset Jamiyah, Fatwa, Da’wah dan Bimbingan Islam di Mauratius kemudian di negeni Bahrain dan bekerja disana selama 12 tahun. Dalarn masa itu, saya telah mengunjungi banyak negara. Sungguh saya belum pernah melihat pengaruh jama’ah manapun yang menyamai pengaruh Jama’ah Tabligh. Dan karena takut dari pengaruh jama’ah ini, sebagian orang menentangnya dan melemparkan tuduhan-tuduhan yang berbahaya. Tetapi karena keikhlasan mereka, Allah SWI’ selalu menolong dan membela mereka dengan bantuan gaibNya.
Buku yang ada dihadapan anda, saya beri nama “Jilaaul Adzhan” (menyingkap tabir kesalah fahaman terhadap Jama’ah Tabligh) yang merupakan kumpulan surat-surat para ulama yang Mukhlis di Kerajaan Saudi Arabia, yang diketuai oleb Yang Terhormat Syaikh Abdul Aziz bin Abdillab bin Haz (semoga Allah senantiasa menjaga beliau). mi merupakan bantuan gaib dan Allah Aza Wajalla untuk Jama’ah Tabligh. Kumpulan surat-surat mereka mengandung dorangan semangat untuk jama’ah ini, serta anjuran dan galakan untuk belajar dan mengajar, juga dorongan semangat untuk memperbaiki aqidah.
Yang lebih penting lagi surat-surat tersebut mengajak untuk menyelamatkan ummat dari perpecahan dan perselisihan menuju persatuan Maka dari itu saya telah berfikir untuk menyebar luaskan surat-surat tersebut seperti apa adanya, supaya ummat Islam bersatu diatas satu kalimah. Umat Islam yang terpecah-pecah di zaman ini menghajatkan kepada persatuan lebih besar lagi dan pada di zaman sebelumnya.
Keamanan dan ketentraman tidak mungkin terwujud kecuali dengan kembali kepada Al-Quran dan AI-Sunnah, mempraktekkan tuntutan-tuntutan keduanya, melaksanakan da’wah dan dengan mewujudkan solidaritas Islam.
Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Syaikh As-Sayyid Nafis Al-Huseiny, semoga Allah SWT menjaga beliau yang telah memerintahkan kepada saya untuk melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya terhadap usaha yang agung ini.
Sebagai penutup saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh penanggung jawab di kantor Dar AI-Hasan untuk percetakan dan terjemah di markas FB, Ayyub Market,Islamabad. Mereka itu adalah Syaikh Raghib Hasan, Syaikh Ahmad Hasan, semoga Allah SWT menjaga beliau berdua, juga pakar lay out saudara Sulaiman Haidar, semoga Allah menjaganya, yang telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk penulisan dan pencetakan buku ini dalam bentuk yang baik dan indah. Semoga Allah membalas kebaikan mereka semua.
Saya berdo’a kepada Allah SWT agar menjadikan usaha saya yang sederhana ini penyebab persatuan ummat islam. Dan semoga Allah SWT memberikan taufik kepada ummat ini untuk melaksanakan kerja mereka yang hakiki yaitu amar ma’ruf nahi munkar, sehingga berhasil meraih kembali kehormatan dan kejayaan mereka seperti dimasa yang lalu. Amin.
Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga beliau dan seluruh sahabat.
Ghulam Mustofa Hasan
Selanjutnya, kalau anda belum pernah melihat seseorang, atau kelompok/jama’ah dari dekat, dengan bersahabat atau dengan partisipasi, anda tidak dapat menghukuminya dengan pandangan yang benar. Sebab sudab jelas bahwa apa saja yang anda dengar dari orang-orang itu belum tentu benar dan tepat. Maka dari itu Allah memerintahkan kita:
“Apabila seseorang fasiq datang membawa berita kepadamu, maka selidikilah …“
Rasulullah bersabda:
“Cukuplab seseorang dikatakan pembohong, bila ia memberitakan segala yang ia dengar”.
Saya, penulis kata pengantar ini dengan segala kerendahan hati menuturkan bahwa saya telah menyelesaikan studi di Madrasah Deoband, mendapat Asy-Syahadah AI-Alamiyyah di Universitas Khoirul-madaris, Multan Pakistan pada tahun 1382 H. Kemudian saya mengajar di beberapa Pesantren antara lain Sahiwal, Faishol Abad, Jehiem, Rawalpindi di Islamabad.Beliau telah menerangkan kepentingan usaha yang agung ini. Dan sejak itulah ucapan Syaikh Sa’id begitu berkesan dihati saya dan saya mendapat kesempatan untuk melihat jama’ah ini dari dekat.
Hubungan saya dengan Amir Jama’ah Tabligh di Pakistan yaitu H. Basyir Ahmad rahimahullah, cukup rapat, tetapi saya belum tahu kepentingan aktifitas jama’ah ini. Sampai akhirnya Allah SWT memberi kehormatan kepada saya untuk dapat diterima di Fakultas Da’wah dan Ushuludlin, universitas Islam Madinah AI-Munawwarah Pada hari ketiga dari diterimanya saya di Universitas Islam, saya dan Seluruh mahasiswa asalPakistandiundang oleh Syaikh Sa’id Ahmad ke Masjid An-Nuur.
Pada tahun 1395 H saya mendapat kesempatan untuk khuruj fisabilillah selarna 40 hari keSudan. Saya menjadi tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang hatinya telah terbakar oleh kesedihan dan kerisauan yang dalam karena melihat keadaan umat Islam di hari ini Dalam kerja besar ini mereka tidak mempunyai kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan pribadi. Dan karena keikhlasan dan kesungguhan mereka dalam da’wah. Allah SWT telah memberikan hidayah kepada banyak hamba-hambanya,
Dalam penjalanan khuruj tersebut di stasiun kereta api (Syindi) saya telab melihat seorang pemudaTunisbersarna dengan seorang gadis Amerika. Waktu itu kami dalam perjalanan menuju kePort Sudan. PemudaTunistersebut ikut naik di kendaraan kami, maka seorang diantara kami berbicara kepadanya tentang iman, sehiugga Allah SWT telab memberikan karunia hidayah kepadanya. Setelab kepulangan kami ke Saudi Arabia, pemuda tersebut telah datang untuk melaksanakan Umroh dan ia telah hafal beberapa juz AI-Qur an. Adalab sangat kebetulan sekali, pemuda itu termasuk keturunan As-Sadaat dan ia mempunyal keluarga di Madinah AI-Munawwarah.
Setelab tamat dari fakultas Da’wah dan Ushuluddin di Universitas Islam Madinah Al-Munawwrah saya menjadi tenaga da’i dari Lembaga Riset Jamiyah, Fatwa, Da’wah dan Bimbingan Islam di Mauratius kemudian di negeni Bahrain dan bekerja disana selama 12 tahun. Dalarn masa itu, saya telah mengunjungi banyak negara. Sungguh saya belum pernah melihat pengaruh jama’ah manapun yang menyamai pengaruh Jama’ah Tabligh. Dan karena takut dari pengaruh jama’ah ini, sebagian orang menentangnya dan melemparkan tuduhan-tuduhan yang berbahaya. Tetapi karena keikhlasan mereka, Allah SWI’ selalu menolong dan membela mereka dengan bantuan gaibNya.
Buku yang ada dihadapan anda, saya beri nama “Jilaaul Adzhan” (menyingkap tabir kesalah fahaman terhadap Jama’ah Tabligh) yang merupakan kumpulan surat-surat para ulama yang Mukhlis di Kerajaan Saudi Arabia, yang diketuai oleb Yang Terhormat Syaikh Abdul Aziz bin Abdillab bin Haz (semoga Allah senantiasa menjaga beliau). mi merupakan bantuan gaib dan Allah Aza Wajalla untuk Jama’ah Tabligh. Kumpulan surat-surat mereka mengandung dorangan semangat untuk jama’ah ini, serta anjuran dan galakan untuk belajar dan mengajar, juga dorongan semangat untuk memperbaiki aqidah.
Yang lebih penting lagi surat-surat tersebut mengajak untuk menyelamatkan ummat dari perpecahan dan perselisihan menuju persatuan Maka dari itu saya telah berfikir untuk menyebar luaskan surat-surat tersebut seperti apa adanya, supaya ummat Islam bersatu diatas satu kalimah. Umat Islam yang terpecah-pecah di zaman ini menghajatkan kepada persatuan lebih besar lagi dan pada di zaman sebelumnya.
Keamanan dan ketentraman tidak mungkin terwujud kecuali dengan kembali kepada Al-Quran dan AI-Sunnah, mempraktekkan tuntutan-tuntutan keduanya, melaksanakan da’wah dan dengan mewujudkan solidaritas Islam.
Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Syaikh As-Sayyid Nafis Al-Huseiny, semoga Allah SWT menjaga beliau yang telah memerintahkan kepada saya untuk melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya terhadap usaha yang agung ini.
Sebagai penutup saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh penanggung jawab di kantor Dar AI-Hasan untuk percetakan dan terjemah di markas FB, Ayyub Market,Islamabad. Mereka itu adalah Syaikh Raghib Hasan, Syaikh Ahmad Hasan, semoga Allah SWT menjaga beliau berdua, juga pakar lay out saudara Sulaiman Haidar, semoga Allah menjaganya, yang telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk penulisan dan pencetakan buku ini dalam bentuk yang baik dan indah. Semoga Allah membalas kebaikan mereka semua.
Saya berdo’a kepada Allah SWT agar menjadikan usaha saya yang sederhana ini penyebab persatuan ummat islam. Dan semoga Allah SWT memberikan taufik kepada ummat ini untuk melaksanakan kerja mereka yang hakiki yaitu amar ma’ruf nahi munkar, sehingga berhasil meraih kembali kehormatan dan kejayaan mereka seperti dimasa yang lalu. Amin.
Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga beliau dan seluruh sahabat.
Ghulam Mustofa Hasan
GERAKAN KEAGAMAAN DI PERGURUAN TINGGI UMUM ;
Studi Kasus di Kampus Universitas Brawijaya MalangOleh: Huda AliBalai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan
1995/1995
Dinamika gerakan mahasiswa Indonesia memiliki akar yang relatif
panjang, dimulai sejak awal abad ini ketika sejumlah kecil penduduk
pribumi mendapat kesempatan belajar di Perguruan Tinggi di negeri
Belanda atau di Nusantara yang didirikan pemerintah kolonial Belanda.
Situasi sosial di masa penjajahan telah menumbuhkan kesadaran mereka
mengenai arti penting posisi yang mereka miliki guna mempelopori
perubahan sosial dan memimpin rakyat terjajah mencapai kemerdekaan.
Kesadaran semacam inilah yang tampaknya menjadi landasan bagi
berkembangnya tradisi kepedulian sosial mahasiswa Indonesia hingga saat
ini; suatu tradisi yang garis persambungannya ditarik dari sejarah
gerakan kebangkitan nasional yang diprakarsai oleh mahasiswa di tahun
1908, Sumpah Pemuda di tahun 1928, revolusi fisik 1945 yang melahirkan
kemerdekaan sekaligus para pemimpin bangsa dari kalangan mahasiswa,
gerakan perlawanan mahasiswa tahun 1966, serta gerakan mahasiswa
dasawarsa 1970-an.Studi Kasus di Kampus Universitas Brawijaya MalangOleh: Huda AliBalai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan
1995/1995
Tradisi kepedulian sosial dalam bentuk gerakan itu mengandung warna politik yang sangat kuat, dalam arti gerakan-gerakan tersebut baik secara eksplisit maupun implisit, bertujuan mempengaruhi proses pengambil keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kenegaraan.
Berdasarkan data hasil penelitian ini menunjukan bahwa pembinaan keagamaan di kampus UNIBRAW cukup aktif dan menumbuhkan berbagai kreativitas keagamaan para mahasiswanya, baik dalam bentuk kelompok-kelompok diskusi sampai dengan pembentukan lembaga sosia1 keagamaan, maupun dalam bentuk perayaan dan pameran keagamaan.
Untuk memelihara keutuhan persatuan kampus yang berwenang Civitas Akademika UNIBRAW mengambil langkah preventif agar tidak terjadi perpecahan dengan melarang pembentukan firqah-firqah yang memberi peluang kepada terjadinya perpecahan mahasiswa.
Gerakan keagamaan yang pengikutnya konsisten menjauhi bentuk-bentuk kepartaian dan masalah-masalah politik telah memungkinkan dapat melaksanakan aktifitas keagamaan di kampus UNIBRAW, sebagaimana jama’ah Tabligh.
Berdasarkan analisis kajian ini merekomendasikan kelompok-kelompok diskusi keagamaan sebaiknya diberi dukungan agar dapat berkembang dan hasilnya dapat diaplikasikan dalam suatu lembaga. Sedangkan untuk memperdalam agama dan menambah pengetahuan agama para mahasiswa yang terasa masih kurang dari kuliah agama kurikuler maka sebaiknya kegiatan keagamaan yang tidak menumbuhkan firqah-firqah diberi kebebasan dan dukungan di kampus***
Sumber : Kementerian Agama RI
INDONESIAN ISLAM IN A GLOBAL CONTEXT:
A POLYPHONY OF VOICES Title: PESONA JAMA’AH TABLIGH DALAM
nugroho trisnu brata – trisnubrata@yahoo.com
(Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam 4th
International Symposium of Journal Antropologi Indonesia July 12-15,
2005 di UI Jakarta).
PENDAHULUAN
Makalah ini berusaha mengkaji fenomena gerakan dakwah
Islam yang menamakan dirinya “Jama’ah Tabligh”. Komunikasi terjadi
antara saya dengan anggota Jama’ah Tabligh ketika mereka secara sengaja
mendatangi rumah saya di Yogyakarta. Dalam kurun waktu 8 tahun, sudah
sekitar 4 kali Masjid di tempat saya tinggal didatangi oleh Jama’ah
Tabligh. Setiap kali anggota Jama’ah Tabligh menginap di Masjid dekat
rumah saya, mereka hampir tiap malam datang ke rumah saya dan
rumah-rumah tetangga yang bergama Islam. Ada beberapa keunikan yang
menjadi identitas Jama’ah Tabligh, mulai dari penampilan, cara
berpakaian, kebiasaan keluar rumah untuk berdakwah selama berhari-hari,
cara makan bersama, metode berdakwah, hingga menghindari politik dan
kekerasan dalam berdakwah Islam.
“Jama’ah” secara harfiah sering disamakan dengan
kelompok atau bersama-sama, misalnya sholat berjama’ah artinya sholat
bersama-sama yang dipimpin oleh seorang imam dan diikuti oleh para
makmum. Kata “tabligh” adalah salah satu sifat yang dimiliki oleh Nabi
Muhammad SAW dari empat sifat beliau (sidiq = benar, amanah = bisa
dipercaya, fathonah = cerdas, dan tabligh = menyampaikan). Tabligh atau
menyampaikan dalam hal ini adalah menyampaikan dakwah ajaran-ajaran
agama Islam kepada orang lain. Hal ini kalau kita bahas tentang asal
kata dari Jama’ah Tabligh. Pada aspek penampilan, cara berpakaian para
karkun (bhs. India) yaitu para aktifis Jama’ah Tabligh tampak khas.
Para lelaki biasanya berpakaian dominan warna putih
dengan baju “Afghani clothes” atau baju Afghanistan yang biasa dipakai
oleh orang-orang Afganistan, India, Pakistan, dan Banglades. Ada juga
warna baju lain seperti coklat, biru, hitam, dll. Baju ini berlengan
panjang, dan menjulur ke bawah sampai lutut dengan belahan disisi kiri
bawah dan kanan bawah. Istilah model baju ini saya dengar dari laki-laki
pedagang baju di Mekah saat kami sekeluaraga pergi haji ke Mekah pada
tahun 1998. Menurut si pedagang baju itu, Afghani clothes berbeda dengan
“gamis” yang biasa dipakai oleh para pria Arab. Gamis adalah baju yang
menjulur ke bawah sampai hampir menutupi mata kaki, biasanya berwarna
putih dan berlengan panjang. Para istri dari karkun ini biasanya
berjilbab dan memakai cadar (penutup wajah), mereka lebih banyak tinggal
di rumah dan menjadi manajer rumah tangga. Para suami lebih banyak
berada di luar rumah untuk mencari rejeki dan berdakwah agama Islam.
Jama’ah Tabligh didirikan oleh Maulana Muhammad Ilyas
Al-Kandahlawy pada tahun 1920-an (?) di Uttar Pradesh, India. Sebagian
besar pengikutnya berada di India, Pakistan, dan Bangladesh. Sejak
1980-an organisasi dakwah ini melebarkan sayapnya ke Timur Tengah, Asia
Tenggara (terutama Indonesia, Malaysia, Thailand), Australia, dan
Amerika (Majalah GATRA, 27 November 2004). Walaupun para pengikut
Jama’ah Tabligh berasal dari berbagai negara akan tetapi gaya berpakaian
mereka cenderung sama yaitu lebih suka memakai Afghani clothes, dari
pada memakai gamis.
PEMBAHASAN
Berawal dari sebuah peristiwa saat mengikuti kursus
persiapan masuk perguruan tinggi di Yogyakarta, salah satu tentor
mengajak dan setengah memaksa kepada saya untuk mendatangi pengajian di
Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang Yogya. Saat itu saya tidak mau.
Lain waktu tetangga saya juga pernah mengajak dengan setengah memaksa
untuk mendatangi pengajian di Masjid Al-Ittihad di Jalan Kaliurang
Yogya. Saya tetap tidak mau dengan berbagai alasan yang saya sampaikan.
Mulai saat itu saya bertanya-tanya di dalam hati,
sebenarnya pengajian di tempat itu model pengajian seperti apa ? Apakah
sebuah pengajian Islam sempalan seperti yang banyak dibicarakan orang?
Pertanyaan itu terjawab setelah beberapa tahun berlalu yaitu pada saat
saya telah hampir selesai kuliah di Jurusan Antropologi UGM. Beberapa
orang laki-laki dengan baju khas dan sebagian memakai sorban (ikat
kepala) dengan membawa alat-alat masak serta perlengkapan makan mohon
ijin kepada pemuka masyarakat untuk bermalam sekitar 3 hari di Masjid
Kampung saya tinggal.
Ketua Takmir Masjid dan Ketua RW pada awalnya ragu-ragu
karena penampilan para pendatang itu terlihat asing, mungkin ada
perasaan khawatir dan curiga menghinggapi perasaan para tokoh masyarakat
di kampung saya itu. Ketika wakil dari orang-orang asing itu datang ke
rumah saya untuk minta ijin kepada saya karena saya sebagai ketua pemuda
kampung, saya langsung mengijinkan. Dalam pikiran saya inilah kelompok
pengajian yang dahulu setengah memaksa saya untuk bergabung dengan
mereka, saat inilah saya bisa tahu lebih banyak keberadaan mereka.
Di depan jama’ah sholat magrib setelah sholat
berlangsung, saya katakan bahwa “innamal mukminuna ikhwah, bahwa semua
orang Islam itu bersaudara” sehingga saudara yang datang dari jauh perlu
disambut kedatangannya. Akhirnya diterimalah mereka menginap di masjid
kami, akan tetapi ada juga satu dua warga yang tetap curiga dan menolak
mereka walaupun pendapat mereka ini tidak bisa diwujudkan. Kecurigaan
terhadap sesama orang Islam ini karena didasari oleh ketidaktahuan,
lebih dari itu adalah wacana yang dikembangkan pada jaman Orde Baru
bahwa Islam di Indonesia hanya ada 2 yaitu Islam tradisional yaitu NU
dan Islam modern yaitu Muhamadiyah.
Dikotomi Islam yang mengkutub pada Gerakan Muhamadiyah
dan Nahdhatul Ulama yang menjadi simbol Islam Modernis dan Islam
Tradisional selama puluhan tahun telah menjadi wacana baku dalam
mengkaji Islam di Indonesia. Orang selalu saja mengkaitkan Islam dengan
Muhamadiyah dan NU. Jika ada gerakan atau kelompok di luar Muhamadiyah
dan NU maka akan segera dicap sebagai Islam sempalan, dan lebih ekstrem
lagi dicap sebagai Islam aliran sesat yang harus dilarang dan
dibubarkan. Mengapa Muhamadiyah dan NU menjadi mainstream wacana Islam
di Indonesia? Apakah karena jumlah masa yang besar ?
Jawabannya, bahwa Muhamadiyah dan NU selain karena
jumlah masanya yang besar, juga karena kedua organisasi Islam itu mau
mendukung penguasa Orde Baru. Beberapa orang pemerintah ditempatkan
menjadi pengurus di kedua organisasi itu. Penerimaan Pancasila oleh
Muhamadiyah dan NU sebagai satu-satunya azas adalah simbol ketundukan
kedua organisasi itu terhadap kekuasaan pemerintah Orde Baru. Dalam
konteks ini Pancasila diposisikan sebagai totem, atau malah sebagai
sebagai “agama” yang dipaksakan oleh oleh pemerintah untuk diterima oleh
semua lapisan masyarakat. Pada sebagian orang muslim fenomena itu
adalah proses pemusrikan pada orang Islam di Indonesia.
Sejak kekuasaan Orde Baru tumbang pada 21 Mei 1998 yang
membuka kran keterbukaan termasuk dalam beragama Islam, mulailah
bermunculan gerakan Islam di luar mainstraim NU dan Muhamadiyah. Contoh
gerakan itu antara lain; Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafi dengan
Laskar Jihad-nya, FPI, Majlis Mujahidin, Jama’ah Tabligh, dll.
Reformasi 1998 juga telah memutar pendulum wacana Islam di Indonesia
dari wacana Islam tradisional vs Islam modern, bergeser menjadi wacana
Islam kaaffah vs Islam moderat.
Berbagai kelompok Islam ini–walau tidak
semuanya–mewakili sayap Islam kaffah yaitu berusaha mengimplementasikan
syariat atau ajaran Islam ke dalam hidup sehari-hari secara kaaffah atau
secara utuh dan menyeluruh. Ajaran Islam coba mereka aplikasikan dalam
kehidupan di dalam rumah tangga, di dalam proses perdagangan/perniagaan,
di kantor, atau di tempat-tempat umum seperti terminal atau bandar
udara secara damai dan tidak mengganggu hak-hak orang lain. Sikap
toleransi sosial (tasamuh) juga hidup subur di dalam komunitas Islam
ini. Di sisi lain seperti NU dan Muhamadiyah dan yang lain menempatkan
diri pada posisi Islam moderat, yang ingin menerapkan ajaran atau
syariat Islam dengan menyesuaikan kondisi masyarakat kekinian. Gerakan
Islam Liberal yang dipelopori oleh Ulil Absar Abdalla di Jakarta juga
menjadi fenomena menarik untuk dikaji lebih mendalam pada kesempatan
lain.
Jama’ah Tabligh dalam hal ini termasuk pada posisi Islam
kaafah. Kelompok-kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut
Tahrir Indonesia, Salafi, FPI, Majlis Mujahidin, atau Jama’ah Tabligh
dll. tidak semuanya berdiri setelah Orde Baru tumbang. Sebagian sudah
ada dan berdakwah secara bawah tanah serta melakukan kaderisasi secara
intensif, misalnya Gerakan Tarbiyah yang sudah muncul sejak tahun
1970-an secara bawah tanah dan meminjam model pembinaan kader dari model
gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Gerakan Tarbiyah ini pada awal
kemunculannya di tahun 1998 melalui “wajah” KAMMI (Kesatuan Mahasiswa
Muslim Indonesia) dengan ketuanya Fahri Hamzah, kader jebolan Gerakan
Tarbiyah.
KAMMI yang diback-up para senior Gerakan Tarbiyah
bertransformasi menjadi Partai Keadilan (PK). PK tidak mencapai
electoral thresshold pada pemilihan umum 1999 sehingga bertransformasi
menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Organisasi Salafi juga sudah
muncul sejak jaman Orde Baru dengan pusatnya di Pondok Pesantren Ihya’us
Sunnah di Sleman Yogyakarta di bawah pimpinan Ustadz Ja’far Umar
Tholib. Di bawah Ja’far Umar Tholib organisasi ini menjadi terkenal
karena pembentukan Laskar Jihad Ahlus Sunah Wal Jama’ah (ASWJ) yang
dikirim ke medan perang di Ambon dan Maluku.
Ada juga Salafi yang berpusat di Pondok Pesantren
Jamilurrohman di Jalan Imogiri Bantul Yogyakarta di bawah Ustadz Abu
Nida. Jama’ah Tabligh juga sudah muncul sejak jaman Orde Baru, di
Yogyakarta pusat aktifitasnya adalah Masjid Al-Ittihad di Jalan
Kaliurang di dekat kampus UGM Yogyakarta. Ini adalah contoh beberapa
gerakan atau organisasi yang selamat dari tangan kejam pemerintah Orde
Baru. Gerakan Islam atau kelompok Islam yang pernah dihancurkan oleh
pemerintah karena dicap sebagai Islam sempalan misalnya adalah kelompok
Islam di Lampung yang dipimpin oleh Warsidi. Kelompok ini kemudian
diberi stigma sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi,
diserbu oleh aparat keamanan dan yang masih hidup dibawa ke pengadilan.
Contoh lain adalah kelompok Haur Koneng di Jawa Barat
juga dibubarkan oleh pemerintah, atau Islam Jama’ah yang kemudian
berganti nama menjadi LEMKARI dan kini bernama LDII (Lembaga Dakwah
Islam Indonesia). Istilah GPK adalah stigma yang dipropagandakan oleh
pemerintah orde baru sehingga berlanjut dengan terbentuknya public
opinion, bahwa pihak yang dicap sebagai GPK memang musuh pemerintah,
musuh negara, dan musuh masyarakat sehingga harus dihancurkan. Ternyata
masyarakat biasanya mendukung sikap pemerintah itu. Stigma atau label
sebagai GPK identik dengan istilah ekstrimis pada jaman perang
kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949. Rakyat Indonesia yang melawan
pemerintah kolonialis Belanda dengan mengangkat senjata dicap sebagai
kaum ekstremis oleh penguasa kolonial Belanda yang ingin kembali
menjajah Indonesia pasca Perang Dunia II.
Istilah ekstremis ini diadopsi oleh pemerintah Orde Baru
di bawah Presiden Soeharto dengan munculnya stigma ekstrem kiri bagi
pihak oposisi yang berbasis pada pemikiran sosialisme dan marxisme, dan
ekstrem kanan bagi oposan dengan basis pemikiran dari ajaran Agama
Islam. Pada era kekinian terjadi metamorfosis stigma yaitu kaum teroris
bagi umat Islam yang berani melawan peradaban Barat dengan mengangkat
senjata. Berbagai stigma di muka apabila kita lihat secara teliti
ternyata terdapat pola yang sama. Stigma sebagai ektremis, ektrem kanan
dan ekstrem kiri, Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK), maupun teroris
pada dasarnya diciptakan oleh pihak pemegang kekuasaan. Logika kekuasaan
di mana kekuasaan yang ada di tangan mereka selalu terancam oleh pihak
oposisi, memotivasi para penguasa untuk meniadakan penentangan dan
perlawanan dengan cara yang keras dan kejam terhadap para penentang
penguasa.
Kaum oposan yang telah berani melawan pemegang kekuasaan
karena kekuasaan dianggap telah membelenggu dan menindas mereka,
sebelum secara fisik dihancurkan oleh para penguasa maka terlebih dahulu
dihancurkan citranya (image-nya) dengan membentuk opini publik. Apabila
opini publik telah terbentuk di masyarakat secara luas maka
penghancuran fisik seperti penyerbuan oleh aparat keamanan dan menyeret
ke pengadilan terhadap para penentang pemerintah ke pengadilan. Di sini
opini publik berfungsi sebagai alat legitimasi bagi penindasan oleh
penguasa terhadap kaum oposan. Terbentuknya opini publik tidak bisa
dilepaskan dari peran media massa baik media massa cetak maupun media
massa elektronik. Media massa menjadi jembatan yang menghubungkan dan
menyebarluaskan opini dari pembuat opini kepada khalayak.
Opini publik tentang Jama’ah Islamiah (JI) yang dibangun
oleh pemerintah Amerika Serikat dan diamini oleh banyak penguasa di
berbagai negara di Asia Tenggara, sedikit banyak ternyata mendapat
counter opinion (opini tandingan) dari masyarakat Islam secara luas.
Diksi atau pilihan kata Jama’ah Islamiyah mungkin saja terdapat maksud
untuk menggiring memori masyarakat terhadap organisasi Islam Jama’ah
yang berpusat di Kediri, Jawa Timur pada masa Orde Baru. Karena memiliki
citra buruk maka Islam Jama’ah berganti nama menjadi LEMKARI, kemudian
berubah lagi menjadi LDII sampai sekarang. Sebagai siasat untuk bisa
tetap eksis maka LDII berlindung di bawah GOLKAR dan massa LDII menjadi
underbow GOLKAR. Jama’ah Islamiyah berbeda dengan Islam Jama’ah yang
citranya buruk.
Terlepas ada atau tidak organisasi Jama’ah Islamiyah
(JI) di Asia Tenggara, di balik frase Jama’ah Islamiyah terkandung makna
bahwa Jama’ah Islamiyah itu artinya adalah kelompok, golongan atau
semua orang yang beragama Islam. Ketika Jama’ah Islamiyah yang maknanya
secara luas adalah “semua orang Islam”, dicap sebagai kaum teroris maka
banyak orang yang buta politik seperti saya, merasa sakit hati terhadap
Amerika Serikat dan sekutunya. Umat Islam yang berusaha melaksanakan
ajaran Islam secara baik dengan mencintai Allah (hablumminallah) dan
mencintai sesama manusia (hablumminannas) mengapa dikatakan sebagai kaum
teroris yang menghancurkan kehidupan manusia?
Jama’ah Tabligh yang menjadi sentra kajian tulisan ini
juga telah membuktikan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai. Jamaah
Tabligh di mata saya adalah sebuah gerakan penyebaran agama Islam yang
berusaha terus menerus merekrut anggota dengan jalan persuasif. Selama
kurun waktu 8 tahun kelompok jamaah Tabligh ini sudah sekitar 4 sampai 5
kali menginap di masjid kampung saya untuk menyebarkan dakwah Islam.
Model dakwah mereka ada yang dinamakan “jaulah” dan “khuruj”. Jaulah
adalah berkeliling mendatangi rumah-rumah orang Islam yang terletak di
sekitar masjid tempat para karkun itu menginap. Mereka ini
bersilaturahmi (menjalin hubungan persaudaraan) dan kemudian
menyampaikan kebaikan-kebaikan ajaran Islam. Khuruj adalah keluar atau
meninggalkan lingkungan sehari-hari dengan tujuan menyampaikan dakwah
Islam. Bisa saja mereka meninggalkan lingkungan tempat tinggal dan
keluarga, meninggalkan pekerjaan, dan secara berjamaah pergi ke luar
kota, atau keluar propinsi atau bahkan ke luar dari batas negara.
Biasanya mereka berkhuruj selama 3 hari dalam satu bulan, 40 hari dalam
satu tahun, atau 4 bulan selama seumur hidup.
Para karkun yang sering mengunjungi rumah saya di
Yogyakarta sering berdiskusi sampai larut malam tentang berbagai hal
terutama yang berhubungan dengan Islam. Mereka ada yang datang dari
Yogyakarta, dari Jakarta, dari Lampung, atau dari Medan Sumatera Utara.
Mereka berpandangan bahwa Islam adalah sistem hidup yang paling baik,
maka berbahagialah orang Islam yang menjalankan ajaran agamanya. Mereka
selalu mengajak memeluk ajaran Islam secara kaaffah yaitu menyeluruh,
utuh, atau tidak sepotong-sepotong yang dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari. “Udkhullu fisilmi kaaffah = masuklah ke dalam Islam secara
kaaffah”, kata mereka dengan mngutip salah satu ayat di dalam Al-Qur’an.
Mereka selalu saja tidak henti-hentinya mengajak solat wajib berjamah
di masjid bagi laki-laki, selalu berbuat baik kepada sesama manusia
tanpa membedakan agama, meninggalkan larangan-larangan agama, dan mereka
juga tidak pernah mengatakan bahwa mereka berasal dari organisasi
dakwah bernama Jama’ah Tabligh, mereka selalu mengedepankan kesatuan
Islam.
Mungkin saja dengan meminggirkan identitas golongan
mereka, mereka bertujuan untuk tidak terjebak pada perdebatan antar
kelompok-kelompok Islam. Dengan bahasa dan penampilan yang rendah hati
dan mempesona lawan bicara, mereka ini selalu menghindarkan diri dari
khilafiyah (beda pendapat) dan menghindarkan diri dari siyasah (politik
praktis). Walaupun tidak berpolitik praktis, akan tetapi pada saat
memilih pemimpin mereka bermusyawarah dan bermufakat. Pemimpin bisa
dipilih dengan cara itu, dan bisa diganti dengan cara yang sama. Siapa
saja bisa menjadi pemimpin asalkan memiliki sifat-sifat sidiq = benar,
amanah = bisa dipercaya, fathonah = cerdas, dan tabligh = menyampaikan.
Seperti halnya pada saat solat berjamaah maka siapa saja bisa menjadi
imam asalkan bisa melafalkan ayat-ayat Qur’an, dalam kondisi yang baik,
dan dianggap mampu oleh makmum.
Dari fenomena Jamaah Tabligh ini apabila ada yang
mengatakan bahwa sistem kekuasaan Islam itu anti demokrasi dan otoriter,
tentu itu adalah pendapat yang sangat keliru. Sistem demokrasi
“masyarakat Barat” seharusnya berani membuka hati bahwa secara
antropologis, masyarakat Islam juga memiliki tata cara dan sopan santun
dalam berdemokrasi. Masyarakat Islam tidak perlu dipaksa-paksa untuk
menganut sistem “demokrasi ala Barat”. Bahkan secara ekstrem mereka
orang Islam dicap sebagai kaum teroris yang harus diperangi dan
dimusnahkan dari muka bumi, hanya karena berusaha mempertahankan
identitas sebagai masyarakat muslim.
Untuk kasus ini tentu saja para antropolog sedunia harus
ikut turun tangan untuk memberikan penjelasan-penjelasan rasional,
sistematis, dan jernih kepada para “pendekar demokrasi” ala Barat
mengenai kerangka berpikir masyarakat muslim. Masyarakat muslim tentu
tidak akan memerangi masyarakat penganut demokrasi barat apabila
masyarakat muslim tidak “diganggu” kehidupannya. Kasus Jamaah Tabligh
menunjukkan bahwa mereka selalu menghindari perbedaan pendapat, apalagi
yang menjurus pada benturan fisik.
Bayan (ceramah, pengajian) yang disampaikan oleh ustadz
tiap sehabis solat berjamaah yang dilakukan secara rutin pada komunitas
Jama’ah Tabligh, biasanya berisi 6 hal standar yaitu; 1) keutamaan
Laaillahaillallah Muhamadarrosulullah, 2) membesarkan nama Allah dengan
cara menjalankan sholat secara khusuk, 3) ilmu dan dzikir, 4) ikram atau
memuliakan sesama manusia, 5) mengikhlaskan niat, dan 6) pentingnya
setiap muslim melakukan dakwah dan tabligh (Majalah GATRA, 27 November
2004).
Dari materi dakwah ini kita bisa melihat bahwa Jama’ah
Tabligh tidak mengajarkan ummat Islam untuk memusuhi orang lain, tetapi
selalu mengajarkan kebaikan. Para antropolog jangan mengulangi kesalahan
besar seperti yang dilakukan oleh Snouk Horgronye seorang antropolog
dari Belanda. Dia menyumbangkan ilmu antropologinya untuk terjadinya
pembantaian Rakyat Aceh dan berujung pada penindasan dan penjajahan oleh
Belanda terhadap Rakyat Aceh. Penulisan buku “Pedang Samurai dan Bunga
Seruni (The Chrysanthemum and The Sword)” oleh seorang antropolog wanita
dari Amerika Ruth Benedict, yang kemudian menjadi awal penghancuran
Bangsa Jepang pada Perang Dunia II, tidak perlu diulangi oleh para
antropolog kekinian.
Para antropolog jangan bersedia menjadi ahli kebudayaan
tentang masyarakat Muslim yang telah diberi stigma sebagai teroris, demi
kepentingan pemerintah Amerika, yang bisa berujung pada penghancuran
masyarakat Muslim.
KESIMPULAN
Jama’ah Tabligh adalah potret dari gerakan dakwah Islam
kekinian yang bersifat lintas negara. Islam yang terlihat pada wajah
Jama’ah Tabligh adalah santun, rendah hati, dan cenderung menghindari
khilafiyah (beda pendapat). Para aktivis Jama’ah Tabligh (karkun) secara
rajin dan kontinyu ber-khuruj untuk menyampaikan dakwah Islam dengan
cara yang mempesona, agar Islam menjadi sistem hidup para pemeluknya di
dalam kehidupan sehari-hari. Agar pemeluk agama Islam melaksanakan
ajaran Islam secara kaaffah, secara menyeluruh dan tidak
sepotong-sepotong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar